Bid`ah
Setiap
bid`ah sesat !!!
أَلاَ وَإِيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ شَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.
"
Ingatlah, berhati-hatilah kalian, jangan sampai membuat hal-hal baru. Karena
perkara yang paling jelek adalah membuat hal baru . dan setiap perbuatan yang
baru itu adalah bid'ah. Dan semua bid'ah itu sesat."
Mengkaji
bid`ah sama artinya dengan mengkaji hadits ini, hadits yang sering dijadikan andalan
bagi sebagian orang untuk saling menuduh bid`ah dan melarang segala bentuk hal
baru yang tidak dilakukan di zaman Rasul. Yah ..tak heran karena jika dilihat
sepintas hadits ini menyatakan bahwa
semua hal baru ( bid’ah ) adalah sesat. Maka banyak orang menganggap bahwa untuk menjadi seorang islam
yang tha`at maka dia harus memiliki sifat alergi pada hal-hal baru. Dan
pandangan seperti ini sayangnya bukan hanya dilontarkan oleh orang-orang yang
membenci islam, bahkan mereka yang
mengaku sebagai pembela islam banyak yang melontarkan pendapat ini. Saking
alerginya mereka dengan hal baru, setiap ada hal-hal yang mereka anggap tak pernah
ada di zaman rasul, tak segan-segan
mereka nyatakan sebagai bid`ah. Maulid bid`ah, Tahlilan bid`ah, Shalawat Badr bid`ah,
bid`ah, bid`ah dan bid`ah.. yang lebih mengherankan diantara mereka masih ada
yang menyatakan bahwa speaker, Tape, Radio sampai celana panjang sebagai bid`ah
yang menyesatkan. Maka lengkaplah sudah titel jumud dan terbelakang disandang
oleh umat islam. Herannya ulama-ulama seperti ini merasa bangga dengan titel
terbelakang ini merasa terhormat dengan keterasingannya dan
pendapat-pendapatnya yang syadz (asing). Dan menyangka merekalah para
ghuraba` (orang-orang asing) yang disebut Rasul dalam haditsnya :
إن
الإسلام بدأ غريبا وسيعود غريبيا . فطوبى للغرباء
“ Islam dimulai dalam keterasingan
dan akan kembali asing, maka beruntunglah orang-orang yang asing”
Akan
tetapi lupa sabda Rasul :
إِنَّ أُمَّتِى لَنْ تَجْتَمِعَ
عَلَى ضَلاَلَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمُ اخْتِلاَفًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الأَعْظَمِ. سنن ابن ماجه
“Sesungguhnya
umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan, jika kalian melihat pertentangan
maka ikutilah kelompok terbesar”
mereka
merasa bahwa dirinya telah membela islam padahal karena sebabnya umat islam
terpecah saling tuduh bid`ah satu sama lain dan mereka merasa telah menyeru
kepada islam padahal sebenarnya mereka membuat orang lari dari islam.
Bukan ini yang dimaksud
Rasul dalam haditsnya, justru beliau menganjurkan umatnya untuk membuat inisiatif
dan bersikap kreatif dalam melakukan kebaikan(1), Rasulullah
saw bersabda dalam hadits lain :
من سن في الإسلام
سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيء ومن سن في
الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من
أوزارهم شيء (رواه مسلم )
“Barangsiapa yang menciptakan satu gagasan
yang baik dalam islam, maka dia memperoleh pahalanya dan juga pahala orang yang
melaksanakanya dengan tanpa dikurangi sedikitpun. Dan barangsiapa yang menciptakan
satu gagasan yang jelek dalam islam, maka dia akan terkena dosanya dan juga
dosa orang-orang yang melaksanakanya dengan tanpa dikurangi sedikitpun”
Atas
dasar inilah para sahabat, thabiin dan para ulama salaf berani
untuk menciptakan hal-hal baru dalam agama yang tidak dilakukan oleh Rasul, tentunya setelah
melakukan pertimbangan yang sangat matang dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah
yang ada dalam Islam.
Khalifah Abu Bakar
berani memerangi mereka yang menolak zakat, dan mengumpulkan al Quran, Sayidina
Umar yang mengumpulkan orang untuk shalat tarawih berjama`ah, menerangi
masjid dengan lampu-lampu dan melakukan banyak hal baru dalam kepemerintahanya.
Sayidina Utsman yang membukukan Al Quran, dan menggagas ide untuk
melakukan dua adzan dalam shalat jum`at. Pemberian titik, tanda juz, waqaf,
dan harakat dalam Al Quran yang baru dilakukan di zaman dinasti Umayah,
pembukuan dan pengkodefisian hadits, pembukuan cabang-cabang ilmu syari`ah
mulai dari nahwu, Fiqh, tafsir, Ushul fiqh, Balaghah, dan sebagainya. Pendirian
menara, madrasah-madrasah, perpustakaan Islam. Perenovasian Ka`bah, dan
perluasan Masjid Nabawi. Dan masih
banyak lagi hal baru yang dilakukan para ulama untuk kemajuan Islam sehingga
Islam menjadi pusat peradaban pada masanya. Dan tak ada satupun dari kita yang
menganggap hal yang mereka lakukan sebagai bid`ah, justru kita semua sepakat
bahwa apa yang mereka lakukan adalah jasa yang sangat besar artinya bagi umat
islam. Mereka bukan tidak pernah
mendengar bahwa Rasul pernah bersabda بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ كُلُّ (setiap
bid`ah adalah sesat ). Justru mereka yang paling mengetahui mengenai maksud
bid`ah, dalam perkataan Rasul tersebut sehingga mereka berani untuk melakukan hal-hal yang tidak pernah dilakukan
oleh rasul.
Bid`ah
???
Selain
kita harus mengetahui mengenai bahaya bid`ah, ada hal lain yang tak kalah
penting untuk diketahui yaitu pengertian bid`ah. Banyak orang yang saling tuduh
bid`ah karena perbedaan cara ibadah padahal yang mereka tuduh bid`ah sebenarnya
adalah perbedaan madzhab, atau perbedaan ulama dalam masalah fiqhiyah.
Seperti masalah terjemah khutbah, qunut, menggerakan jari dalam tahiyyat,
bilangan tarawih dll. Ada juga yang begitu tekun melakukan sesuatu yang dia
anggap ibadah, tapi pada kenyataanya apa yang dia lakukan adalah bid`ah
yang perlu dijauhi. Untuk menghindari hal-hal seperti ini kita harus mengetahui
apa itu bid`ah?.
Jika kata bid`ah
disebut, maka yang dimaksud bisa dua kemungkinan. Yang pertama adalah bid`ah
lughowiah (secara bahasa) atau bid`ah syar`iyah (secara syari`at)
(2).
Bid`ah
lughowiah
Yang
dimaksud dengan bid`ah secara bahasa adalah setiap hal baru yang tidak
diketemukan di zaman Rasul baik berupa hal baik atau hal yang buruk,
berhubungan dengan hal duniawi seperti alat-alat komunikasi dan transportasi
modern atau berhubungan dengan masalah agama seperti pembukuan Al Quran, Hadits
dll. Semuanya bisa dikatakan bid`ah jika dilihat dari segi bahasa.
Karena
memang kata bid`ah sendiri secara etimologi adalah hal yang baru yang belum
pernah ada sebelumnya.
Oleh
karena itulah Sayidina Umar berkata mengenai shalat tarawih berjamaah نعمت
البدعة هذه (Inilah sebaik-baiknya bid`ah)(3).
Yang dimaksud Sayidina Umar adalah bid`ah secara bahasa karena di zaman Rasul
para sahabat melakukan shalat tarawih sendiri-sendiri. Kalau dilihat dari segi
ini maka kata bid`ah tidak selalu berkonotasi negatif, terkadang baik dan
terkadang jelek.
Akan tetapi dalam
penerapannya jika lafadz bid`ah disebut secara mutlaq tanpa embel-embel maka yang
dimaksud adalah bid`ah yang tercela (bid`ah syar`iyah). lain halnya jika kata
bid`ah tersebut disandingkan dengan kata lain seperti perkataan “bid`ah hasanah”
atau lainnya, maka barulah yang dimaksud adalah bid`ah dari segi bahasa(4).
Bid`ah
syar`iyah
Jika
dipandang dari segi syari`at maka yang dimaksud bid`ah adalah semua hal baru yang bertentangan dengan
syari`at. Jelas jika dipandang dari segi ini maka bid`ah sama
artinya dengan kesesatan.
Perlu
digaris bawahi bahwa kalimat ”bertentangan dengan syariat” maksudnya
bukan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, karena terkadang Rasulullah
meninggalkan sesuatu walaupun sangat ingin melakukanya karena takut akan
memberatkan umatnya atau alasan lainnya(5). Akan tetapi
maksudnya adalah perbuatan atau keyakinan yang menyalahi hukum atau keyakinan
yang telah ada, atau tidak memiliki landasan hukum baik secara umum atau secara
parsial, kemudian diklaim sebagai ajaran agama (6), seperti
keyakinan pluralitas beragama (menganggap semua agama sama), membuat
hukum-hukum baru tanpa dasar, dll.
Secara
sederhana Ustadz Muhib menerangkan bahwa
pengertian bid`ah syar`iyah adalah segala bentuk perbuatan atau
keyakinan yang bukan bagian dari ajaran Islam, dikesankan seolah-olah bagian
dari ajaran Islam, seperti membaca ayat-ayat al-Qur’an atau shalawat disertai
alat-alat musik yang diharamkan, keyakinan/faham kaum Mu’tazilah, Qodariyah,
Syi’ah, termasuk pula paham-paham Liberal yang marak akhir-akhir ini, dan
lain-lain.
Bid`ah
inilah yang dimaksud oleh Rasulullah dalam perkataanya كُلُّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (setiap bid`ah adalah sesat)
Pembagian
bid`ah
Jika
bid`ah ditinjau dari segi bahasa maka ulama memiliki dua jenis
pembagian.
Yang
pertama yang membagi bid`ah menjadi dua macam,
ini seperti apa yang dinyatakan oleh Imam Syafi`i, Imam Nawawi dan imam-imam
lainnya , yaitu :
1.
Bid`ah
Dholalah, yaitu hal baru yang bertentangan
dengan Al Quran, Hadits atau Ijma` (kesepakatan ulama). Seperti Shalat shubuh
tiga raka`at atau merubah lafadz-lafadz adzan dll.
2.
Bid`ah
Maqbulah (diterima), yaitu hal baru yang berisi
kebaikan dan tidak bertentangan dengan syari`at, maka ini tidak ada khilaf
mengenai diperbolehkanya. Seperti shalat tarawih berjamaah yang merupakan
inisiatif Sayidina Umar.
Yang
kedua adalah ulama yang membagi bid`ah menjadi lima macam, Pembagian ini
dipopulerkan oleh Imam Izuddin bin Abdus Salam dan banyak dinukil dalam
kitab-kitab mutaakhirin, Yaitu :
1. wajib, seperti
belajar ilmu gramatikal bahasa arab (nahwu) untuk memahami Al Quran dan hadits.
2. haram, seperti Madzhab
Qadiriyah, dll.
3. Sunnah,
seperti
membangun lembaga pendidikan, dan shalat tarawih berjamaah.
4. mubah, seperti
berjabat tangan setelah shalat.
5. makruh, seperti menghiasi
masjid atau Al quran.
Metode
yang digunakan oleh Imam `Izuddin dalam penggolongan ini adalah dengan
meninjau pada kaidah hukum yang telah ada. Jika hal baru tersebut tercakup
dalam kaidah wajib maka hukumnya wajib, jika masuk kaidah sunnah maka hukumnya
sunnah, dan seterusnya. Sebagai contoh belajar bahasa arab jika bertujuan untuk
bisa memahami apa yang wajib dia fahami dari syari`at maka hukumnya pun menjadi
wajib.(7)[1]
Dari
keterangan diatas menjadi jelas bahwa umumnya ulama tidak membeda-bedakan antara
bid`ah dalam masalah agama atau dalam masalah dunia.
Sebagian
ulama ada yang mengingkari pembagian ini dan menyatakan bahwa tidak ada bid`ah dalam
agama kecuali bid`ah yang sesat, seperti Imam Syatibi dalam kitab I`tishamnya(8).
Sebagian lagi menyatakan bahwa bid`ah yang diperbolehkan adalah bid`ah dalam
hal keduniaan saja seperti membuat alat-alat baru yang belum pernah ada di
zaman rasul, dll.
Akan
tetapi pendapat seperti ini selain menyalahi pendapat sebagian besar ulama ahlu
sunnah Juga menyalahi apa yang dilakukan oleh para sahabat serta thabiin.
Karena di antara mereka banyak yang melakukan hal baru dalam agama yang tidak
diajarkan Rasulullah. Seperti jamaah tarawih yang diprakarsai oleh Sayidina
Umar, Adzan kedua dalam shalat jum`at yang merupakan inisiatif Sayidina
Utsman, memberi titik, harakat serta tanda waqaf dan tanda-tanda lainya
dalam Al Quran yang baru dilakukan di masa dinasti Umayyah dan diakui oleh para
thabiin(bahkan ada yang menyatakan bahwa orang pertama yang memberi tanda dalam
al Quran adalah Al Hajjaj bin Yusuf(9), penguasa dzolim di
masa Bani Umayyah), pengkodefikasian hadits serta pembukuannya dll. Semua
adalah hal baru dalam agama dan tidak pernah diajarkan Rasul. Apabila kita
katakkan bahwa semua hal baru dalam agama adalah bid`ah yang menyesatkan maka berarti
secara tidak langsung kita telah menuduh para sahabat dan thabiin telah
melakukan kesesatan dan perbuatan dosa secara kolektif (bersama). Padahal,
sejarah telah membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang pilihan yang tidak
diragukan lagi keimanan dan ketaqwaannya. Bahkan diantara mereka ada yang sudah
dijamin sebagai penghuni surga. Oleh karena itu, sungguh tidak dapat diterima
akal, kalau para sahabat Nabi SAW yang begitu agung dan begitu luas
pengetahuannya tentang al-Qur’an dan Hadits tidak mengetahuinya, apalagi tidak
mengindahkan larangan Rasulullah SAW.[2]
Mereka
yang mengatakan mengenai Pembagian bid`ah
Yang
pertama kali membagi bid`ah ke dalam dua hal yaitu yang baik dan yang buruk, adalah
Rasulullah SAW sendiri, Beliau bersabda :
من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها
بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيء ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها
ووزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شيء (رواه مسلم )
“Barangsiapa yang menciptakan satu
gagasan yang baik dalam islam, maka dia memperoleh pahalanya dan juga
pahala orang yang melaksanakanya dengan tanpa dikurangi sedikitpun. Dan
barangsiapa yang menciptakan satu gagasan yang jelek dalam islam, maka
dia akan terkena dosanya dan juga dosa orang-orang yang melaksanakanya dengan
tanpa dikurangi sedikitpun”
Hadits ini dengan jelas mendorong kita untuk berinisiatif
dengan prakarsa yang baik dan bermanfaat agar bisa diamalkan oleh kita dan
orang-orang setelah kita, sekaligus melarang keras untuk menggagas hal yang
buruk yang bisa merugikan kita dan orang-orang setelah kita nantinya(10).
Rasulullah dalam hadits ini tidak membatasi inisiatif tersebut kepada hal-hal
dunia saja. Mereka yang mengatakan bahwa hadits ini khusus mengenai gagasan
dalam urusan dunia, maka telah mengada-ngada karena urusan dunia jika diamalkan
tidak mendatangkan pahala atau dosa.
Sebagian mereka yang menentang
pembagian bid`ah mengatakan bahwa maksud hadits ini bukan seperti dzahirnya
akan tetapi maksudnya adalah :
من أحيا
سنة من سنة الرسول صلى الله عليه وسلم فله ثوابها وثواب من اتبعه بها
“Barang siapa yang menghidupkan sunah dari sunah
Rasulullah maka bagi dia pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya”
Jadi menurut mereka maksud gagasan tersebut haruslah
gagasan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Pendapat
yang mereka ajukan tidak sesuai dengan keumuman lafadz yang ada dalam hadits
tersebut, memang hadits tersebut datang sebab inisiatif salah seorang ansor untuk
memberikan sedekah kepada salah satu kaum arab yang datang kepada Nabi,
kemudian orang-orang mulai berdatangan untuk memberikan sedekah mengikuti jejak
orang anshor tersebut(11). Akan tetapi sesuai qaidah yang
dijadikan patokan adalah keumuman lafadz bukan kekhususan sebab (العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب).
Mungkin
pendapat seperti ini muncul karena ada sedikit persamaan lafadz antara hadits
di atas dengan hadits ihyau sunnah yang diriwayatkan oleh imam Turmudzi,
yaitu :
أَنَّهُ مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِى قَدْ أُمِيتَتْ
بَعْدِى فَإِنَّ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلَ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ
يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلاَلَةٍ لاَ
يَرْضَاهَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا
لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِ النَّاسِ شَيْئًا أخرجه الترمذي في سننه كتاب العلم
“Barang siapa yang menghidupkan satu sunah daripada
sunahku yang telah mati setelahku maka baginya pahala seperti pahala orang yang
mengamalkanya tanpa dikurangi sedikitpun, Barang siapa yang membuat bid`ah
dengan bid`ah yang dholalah yang tidak diridhai Allah dan Rasulnya maka
baginya dosa orang-orang yang mengamalkanya dengan tanpa dikurangi sedikitpun”
Kedua hadits ini
meskipun agak sama lafadznya akan tetapi terjadi dalam dua peristiwa berbeda.
Selain itu, sebenarnya hadits ini justru memperkuat pendapat bahwa bid`ah tidak
seluruhnya menyesatkan, karena dalam hadits tersebut Rasul membatasi bid`ah
yang dilarang hanya kepada bid`ah dholalah saja.
Kemudian sahabat
pertama yang menyatakan bahwa bid`ah tidak selalu buruk adalah Sayidina Umar
yang mengatakan ketika melihat orang-orang melakukan shalat tarawih berjama`ah,
نعمت
البدعة هذه (Inilah sebaik-baiknya bid`ah). Juga perkataannya kepada
Sayidina Abu Bakar ketika menyarankan untuk mengumpulkan Al Quran, Sayidina Abu
Bakar bertanya kepadanya “Bagaimana mungkin kamu melakukan apa yang tidak
dilakukan Rasul “ Sayidina Umar berkata “ Demi Allah Ini adalah hal yang
baik “. Sedangkan penerapan pembagian bid`ah menjadi hal baik dan buruk
sudah dimulai sejak zaman Khalifah Abu Bakar dengan perbuatanya mengumpulkan Al
Quran, dan penunjukkan Sayidina Umar sebagai Khalifah setelahnya, padahal
Rasulullah SAW sebelum wafat tidak menunjukkan seorangpun untuk menjadi
khalifah(12).
Para Thabi`in telah menerapkan pembagian ini. Paling
agungnya thabiin yang menyatakan bahwa bid`ah terbagi menjadi dua adalah Imam
Syafii, beliau berkata :
المحدثات
من الأمور ضربانأحدهما ما أحدث مما يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا فهذه
البدعة الضلالة والثاني ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا، وهذه محدثة
غير مذمومة،... ]البيهقي بإسناده في مناقب الشافعي [
“Hal baru terbagi menjadi dua, pertama apa yang bertentangan dengan Al Quran,
Sunah, atsar, dan ijma, maka inilah bid`ah dholalah. Yang kedua adalah
hal baru dari kebaikan yang tidak bertentangan dengan salah satu dari yang
telah disebut, maka tidak ada khilaf bagi seorangpun mengenainya bahwa
hal baru ini tidak tercela....(13)”
Lihatlah
bagaimana Imam Syafii menyatakan bahwa tidak ada khilaf sedikitpun mengenai
kebolehan hal baru yang baik, ini menunjukkan bahwa para ulama di zaman Imam
Syafii hampir seluruhnya telah memilah bid`ah kepada yang baik dan yang buruk.
Masih banyak
lagi ulama Ahlu sunnah yang membagi bid`ah (baik dalam agama atau selainnya),
menjadi bid`ah yang bisa diterima dan bid`ah yang ditolak. Diantaranya Imam
Izudin bin Abdussalam, Imam Ghozali, Imam Nawawi, Imam Subki, Imam Suyuthi,
Imam Ibn Hajar, Imam Asy Syaukhani dalam Nailul Author, Al Qostholani dalam
Irsyadus saari, Az Zarqani dalam Syarah Muwatha, Al Halabi, dan masih banyak
ulama lain yang tidak mungkin disebut satu per satu(14). Rasulullah
saw telah bersabda :
إِنَّ أُمَّتِى لَنْ تَجْتَمِعَ عَلَى ضَلاَلَةٍ
فَإِذَا رَأَيْتُمُ اخْتِلاَفًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الأَعْظَمِ. سنن ابن ماجه
“Sesungguhnya umatku
tidak akan bersepakat atas kesesatan, jika kalian melihat pertentangan maka
ikutilah kelompok terbesar”
Oleh karena itulah,
sebagian ulama mengatakan, taqlid kepada pendapat ulama yang paling banyak
lebih utama daripada taqlid kepada yang lebih senior.(15)
Hadits-hadits
mengenai bid`ah
Dalil andalan kaum yang mengingkari
pembagian bid`ah adalah hadits riwayat Ibn Mas`ud, yaitu :
عَنْ عَبْدِ اللهِ ابْنِ
مَسْعُوْدٍ, أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَلاَ
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ شَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا
وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ. رواه ابن ماجه
"Dari ‘Abdullah bin Mas'ud.
Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “ Ingatlah, berhati-hatilah kalian,
jangan sampai membuat hal-hal baru. Karena perkara yang paling jelek adalah
membuat hal baru . dan setiap perbuatan yang baru itu adalah bid'ah. Dan
semua bid'ah itu sesat." HR. Ibnu Majah.
Secara
teksual memang hadits ini seolah melarang semua jenis bid`ah, melihat bahwa
Rasul dalam hadits ini memakai kata كُلُّ
Yang artinya adalah semua. Akan tetapi
ulama berbeda pendapat mengenai ma`nanya terutama makna kalimat terakhir وَكُلُّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَة.
Pertama,
Ulama menyatakan bahwa bid`ah yang
dimaksud dalam hadits tersebut adalah bid`ah syar`iyah, telah kita bahas
bahwa memang semua bid`ah syar`iyah adalah
sesat(16). Karena bid`ah syar`iyah artinya adalah bid`ah yang
bertentangan dengan syariat, dengan demikian makna hadits tersebut adalah “
setiap bid`ah yang bertentangan dengan syariat adalah sesat “.
Kedua, Ada
juga ulama’ yang mengatakan bahwa kata كُلُّ
بِدْعَةٍ dalam
hadits di atas adalah kata umum akan tetapi dikhususkan pada sebagian hal saja
(عام مخصوص)(17),
yaitu bid`ah yang buruk saja ,sehingga makna dari hadits ini adalah “setiap
bid’ah yang buruk itu sesat” . Karena dalam bahasa arab, kata كُلّ tidak selalu berarti seluruh,
kadang memiliki arti kebanyakan atau sebagian. Pengartian seperti
Ini adalah lughat fasih yang banyak terdapat dalam banyak ayat dan hadits
diantaranya :
·
Al Quran surat
Al Kahfi : 79
أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي
الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ
سَفِينَةٍ غَصْبًا
”Adapun bahtera itu
adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan
merusak bahtera itu, karena dihadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera “ Qs. Al
Kahfi : 79
Dalam ayat ini
meskipun digunakan kata كُل akan tetapi yang dimaksud adalah perahu
yang bagus saja(18), oleh karena itulah Nabi Khidir membuat
aib dalam perahu agar tidak dirampas
oleh raja tersebut.
·
Al Quran surat
An Naml 23
إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ
وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ
“ Sesungguhnya
aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala
sesuatu dan dia memiliki singasana yang besar”
Ayat ini
menceritakan mengenai Ratu Balqis, dalam ayat ini meskipun terdapat kata كُل
akan tetapi yang dimaksud adalah sebagian saja, buktinya Ratu Balqis tidak
memiliki kerajaan Nabi Sulaiman.
·
Al-Qu'an surat
Al-Anbiya’ ; 30 :
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ
“Dan
dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada
juga beriman?” QS. Al-Anbiya':30.
Meskipun
ayat ini menggunakan kalimat kullu, namun tidak berarti semua makhluk
hidup diciptakan dari air. Sebagaimana disebutkan dalam ayat al-Qur'an berikut
ini:
وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ
"Dan Allah SWT menciptakan Jin
dari percikan api yang menyala". QS.
Ar-Rahman:15.
Begitu juga para malaikat, tidaklah Allah
ciptakan dari air.
·
Hadits riwayat
Imam Ahmad :
عَنِ
الْأَشْعَرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ
Dari al-Asyari berkata: “
Rasulullah SAW bersabda: “ setiap mata berzina” (musnad Imam Ahmad)
Sekalipun hadits di atas
menggunakan kata kullu, namun bukan bermakna keseluruhan/semua, akan
tetapi bermakna sebagian, yaitu mata yang melihat kepada ajnabiyah.
Lagipula jika kita artikan kalimat وَكُلُّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ secara teksual
maka seharusnya semua hal baru yang tidak ada di zaman Rasul baik yang
berhubungan dengan dunia atau yang berhubungan dengan agama adalah haram,
karena Rasul dalam hadits tersebut mengatakan bid`ah secara mutlak. Akan tetapi
jelas ini bukan yang dimaksud oleh Rasul. Dan tidak ada seorang ulamapun yang
menyatakannya.
Hadits lain yang juga sering dijadikan dalil pelarangan semua bentuk
perbuatan yang tidak terdapat di zaman Rasul adalah :
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ
رَدٌّ. رواه مسلم
"Dari 'Aisyah RA. Ia berkata:
Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang melakukan suatu
perbuatan yang tiada perintah kami atasnya, maka amal itu ditolak"
HR.Muslim.
Para ulama menyatakan bahwa hadits
ini sebagai larangan dalam membuat-buat hukum baru yang tidak pernah dijelaskan
dalam al-Qur'an ataupun Hadits, baik secara eksplisit (jelas) atau implisit
(isyarat), kemudian diyakini sebagai suatu ibadah murni kepada Allah SWT
sebagai bagian dari ajaran agama. Oleh karena itu, ulama membuat beberapa
kriteria dalam permasalahan bid'ah ini, yaitu :
Pertama,
jika perbuatan itu memiliki dasar dalil-dalil syar'i yang kuat, baik yang
parsial (juz'i) atau umum, maka bukan tergolong bid'ah. Namun jika tidak ada
dalil yang dapat dibuat sandaran, maka itulah bid'ah yang dilarang.
Kedua,
memperhatikan pada ajaran ulama salaf (ulama pada abad l, ll dan lll H.).
Apabila sudah diajarkan oleh mereka, atau memiliki landasan yang kuat dari
ajaran kaidah yang mereka buat, maka perbuatan itu bukan tergolong bid'ah.
Ketiga,
dengan jalan qiyas. Yakni, mengukur perbuatan tersebut dengan beberapa amaliyah
yang telah ada hukumnya dari nash al-Qur'an dan Hadits. Apabila identik dengan
perbuatan haram, maka perbuatan baru itu tergolong bid'ah muharromah.
Apabila memiliki kemiripan dengan yang wajib, maka perbuatan baru itu tergolong
wajib. Dan begitu seterusnya.[3]
Dari uraian di atas setidaknya kita bisa memahami,
bahwa hal baru tidak selalu diidentikkan dengan kesesatan. Islam bukan agama
yang kaku, akan tetapi selalu fleksibel dengan perkembangan zaman dan keadaan, Seorang
mukmin hendaknya bisa memanfaatkan keadaan dan membuat inovasi cemerlang untuk
memajukan agamanya, jika dulu para sahabat berperang dengan kuda dan pedang
maka bukan berarti kita pun harus berperang dengannya. Jika dahulu Nabi
berdakwah dengan lisan dan tulisan, bukan berarti kita tak boleh menggunakan
sarana komunikasi lain dalam berdakwah. akan tetapi juga jangan ngawur
dalam membuat inovasinya, semua harus dalam rel yang sesuai dengan nafas
syariat, dan hal tersebut tidak mungkin kita ketahuhi kecuali dengan belajar
syariat terlebih dahulu. Jangan sampai karena kebodohan kita, kita dengan sembrono
menuduh bid`ah suatu kaum padahal mereka adalah para ahli ibadah.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan Komentar Dengan Kata-Kata Yang Sopan Dan Baik.!