أهلا وسهلا بحضوركم في بلوق مؤسسة سنبة سلفية

13 Agustus 2013

Perempuan-perempuan yang haram dinikahi

perempuan yang haram dinikahi disebut dengan mahrom.

Mahram dalam nikah ada 2 bagian:
Pertama: mahram yang haram dinikahi selamanya
Mereka ada 14 golongan; 7 menjadi mahram karena nasab, dan 7 menjadi mahram karena sebab, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah -Subhanahu wata’ala-  QS. An-Nisa’: 22 – 23.
Mereka yang menjadi mahram selamanya karena nasab adalah:
  1. Ibu, Nenek dan seterusnya ke atas, berdasarkan firman Allah -Subhanahu wata’ala-, artinya: ”diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu” (QS. An-Nisa’: 23)
  2. Anak perempuan, cucu perempuan dan cicit (anak cucu) perempuan dan seterusnya ke bawah, berdasarkan firman Allah -Subhanahu wata’ala-, artinya: ”anak-anakmu yang perempuan” (QS. An-Nisa’: 23)
  3. Saudara perempuan baik saudara kandung, saudara sebapak ataupun saudara seibu, berdasarkan firman Allah -Subhanahu wata’ala-, artinya: ”saudara-saudaramu yang perempuan” (QS. An-Nisa’: 23)
  4. Saudara perempuan bapak (bibi dari bapak)[1], berdasarkan firman Allah -Subhanahu wata’ala-, artinya: ”saudara-saudara bapakmu yang perempuan” (QS. An-Nisa’: 23)
  5. Saudara perempuan ibu (bibi dari ibu)[2],  berdasarkan firman Allah -Subhanahu wata’ala-, artinya: ”saudara-saudara ibumu yang perempuan” (QS. An-Nisa’: 23)
  6. Anak perempuan dari saudara laki-laki (keponakan dari saudara laki-laki), dan cucu perempuan saudara laki-laki, berdasarkan firman Allah -Subhanahu wata’ala-, artinya: ”anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki” (QS. An-Nisa’: 23)
  7. Anak perempuan dari saudara perempuan (keponakan dari saudara perempuan), berdasarkan firman Allah -Subhanahu wata’ala-, artinya: ”anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan” (QS. An-Nisa’: 23)
Mereka yang menjadi mahram selamanya karena sebab adalah:
  1. Wanita yang dili’an bagi orang yang meli’an[3]nya. Ketika Al-Juzjani meriwayatkan dari Sahl bin Sa’d, dia berkata: ”Telah berlalu (berlaku) sunnah bagi 2 orang yang saling meli’an agar mereka dipisah kemudian tidak berkumpul lagi selamanya”[4]. Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah berkata: ”Kami tidak mengetahui seorangpun yang menyelisihi dalam hal ini”[5]
  2. Menjadi mahram karena persusuan. Setiap wanita yang diharamkan karena nasab sebagaimana di atas maka ia juga diharamkan karena persusuan[6]. Seperti ibu dan saudara perempuan, berdasarkan firman Allah -Subhanahu wata’ala-, artinya: ”ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan” (An-Nisa’: 23). Nabi -Shalallahu alaihi wasalam– bersabda: ”menjadi mahram karena persusuan apa yang menjadi mahram karena nasab” (Mutafaq ’alaihi)[7]
  3. Menjadi mahram karena telah diaqad menjadi istri bapak atau kakek, berdasarkan firman Allah -Subhanahu wata’ala-, artinya: ”dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu” (QS. An-Nisa’: 22)
  4. Menjadi mahram karena menjadi istri anaknya dan seterusnya ke bawah (istri cucu), berdasarkan firman Allah -Subhanahu wata’ala-, artinya: (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu[8] (menantu)” (QS. An-Nisa’: 23)
  5. Menjadi mahram ibu istri dan neneknya hanya dengan sekedar aqad[9], berdasarkan firman Allah تعالى, artinya: ibu-ibu isterimu (mertua)” (QS. AN-Nisa’: 23)
  6. Menjadi mahram anak perempuan istri dan cucu perempuan istri dari anak laki-laki apabila telah terjadi hubungan dengan istri[10], berdasarkan firman Allah تعالى, artinya: anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya” (QS. AN-Nisa’: 23)[11]
Kedua: mahram yang haram dinikah untuk sementara waktu
Kelompok ini terdiri dari 2 macam:
Macam pertama : haram dinikah karena sebab dikumpulkan (jam’)
  1. Haram untuk mengumpulkan (menikahi dalam waktu bersamaan) antara 2 wanita bersaudara, berdasarkan firman Allah -Subhanahu wata’ala-, artinya: dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara” (QS. an-Nisa’: 23). Demikian juga haram mengumpulkan antara seorang wanita dengan bibinya, berdasarkan sabda Rasulullah -Shalallahu alaihi wasalam-:
لاَ يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا ، وَلاَ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا
“Tidak dikumpulkan seorang wanita dengan bibi dari bapaknya dan tidak pula dengan bibi dari ibunya” (mutafaq ’alaih)[12]
Dan Rasulullah -Shalallahu alaihi wasalam– telah menjelaskan hikmah ketika beliau bersabda:
إِنَّكُمْ إِنْ فَعَلْتُمْ ذَلِكَ قَطَعْتُمْ أَرْحَامَكُمْ
“Sesungguhnya apabila kalian melakukan hal ini, kalian telah memutus tali rahim kalian[13] [14]
Yang demikian ini akan terjadi apabila di antara madu terjadi saling cemburu. Apabila di antara mereka dari kerabat dekat maka akan terjadi pemutusan tali rahim. Apabila seorang wanita telah dicerai dan habis iddahnya, maka menjadi halal saudarinya atau bibinya karena telah hilangnya larangan.
  1. Tidak boleh mengumpulkan (menikahi dalam waktu bersamaan) lebih dari 4 wanita, berdasarkan firman Allah -Subhanahu wata’ala-, artinya: Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat” (QS. An-Nisa’: 3). Dan sungguh Nabi -Shalallahu alaihi wasalam– telah memerintahkan orang yang mempunyai istri lebih dari 4 sebelum Islam untuk menceraikan istri-istri yang lebih dari 4 (empat).[15]
Macam yang kedua: haram dinikahi karena masa tertentu
  1. Tidak boleh menikahi wanita yang sedang dalam masa ’iddah (menunggu) karena pisah dengan suaminya yang pertama, berdasarkan firman Allah -Subhanahu wata’ala-, artinya: dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ‘iddahnya” (Al-Baqoroh: 235). Di antara hikmah hal ini adalah bisa jadi wanita tersebut hamil, sehingga akan tercampur air mani dan rancunya nasab anak.
  2. Haram menikahi wanita yang berzina apabila diketahui zinanya sampai dia bertaubat dan habis ’iddahnya, berdasarkan firman Allah -Subhanahu wata’ala-, artinya: dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin” (An-Nur:3).[16]
  3. Haram bagi seorang laki-laki untuk menikahi istrinya yang telah dicerai tiga sehingga dia (mantan istri) telah digauli oleh suami baru dengan pernikahan yang benar, berdasarkan firman Allah -Subhanahu wata’ala-, artinya: ”Cerai itu dua kali …” sampai kepada firma-Nya: ”Maka jika dia menceraikannya” yakni cerai yang ketiga, Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. (Al-Baqoroh: 230)
  4. Haram menikahi wanita yang sedang berihram (haji atau umroh) sampai dia halal dari ihromnya. Demikian juga tidak boleh bagi laki-laki yang sedang ihrom untuk melakukan akad nikah dengan seorang wanita sedangkan dia masih berihrom, berdasarkan sabda Nabi Muhammad -Shalallahu alaihi wasalam–:
لاَ يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ
”Orang yang ihrom tidak boleh menikah, dinikahi dan tidak boleh melamar” (HR. Jama’ah kecuali Bukhori)[17]
  1. Tidak halal laki-laki kafir menikahi wanita muslimah, berdasarkan firman Allah -Subhanahu wata’ala-, artinya: dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.” (Al-Baqoroh: 221)
  2. Laki-laki mukmin tidak boleh menikahi wanita kafir, berdasarkan firman Allah -Subhanahu wata’ala-, artinya: dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.” (Al-Baqoroh: 221) Dan firman Allah -Subhanahu wata’ala-, artinya: dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir” (Al-Mumtahanah: 10). Kecuali wanita-wanita merdeka (yang menjaga kehormatan) dari ahli kitab, maka boleh bagi laki-laki muslim untuk menikahinya, berdasarkan firman Allah -Subhanahu wata’ala-, artinya: (dan Dihalalkan mangawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-kitab sebelum kamu” (Al-Maidah: 5), yakni halal bagi kalian. Ayat ini menjadi pengecualian (pengkhususan) dari keumuman dua ayat sebelumnya dalam pengharaman menikahi wanita-wanita kafir bagi laki-laki mu’min, dan para Ulama’ telah berijma’ atas hal ini.
  3. Haram bagi muslim merdeka untuk menikahi budak muslimah, karena yang demikian akan menghilangkan status budak pada anak-anaknya. Kecuali apabila khawatir dirinya akan terjerumus kepada zina dan belum mampu membayar mahar wanita merdeka atau harga budak wanita, maka boleh bagi dia ketika itu untuk menikahi budak muslimah, berdasarkan firman Allah -Subhanahu wata’ala-, artinya: ”dan Barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separoh hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa’: 25)
  4. Haram bagi budak laki-laki untuk mengawini tuan perempuannya berdasarkan ijma’, karena yang demikian ini adalah saling menafikan keadaan wanita sebagai tuannya dan keadaan suaminya. Masing-masing di antara keduanya memiliki hukum tersendiri.
  5. Haram bagi tuan laki-laki untuk menikahi budak perempuannya, karena akad kepemilikan (atas budak) lebih kuat daripada akad nikah. Dan tidak bergabung suatu akad dengan akad yang lebih lemah darinya.


HUKUM-HUKUM TERKAIT DENGAN MAHRAM (bukan dari kitab)
  1. Mahram yang berlaku hukum boleh untuk bercampur baur, berdua-duaan, menemani dalam safar, dan berjabat tangan hanya mahram yang haram dinikahi selamanya, karena nasab dan karena persusuan.
  2. Sepupu (anak paman) bukan termasuk mahram dan boleh dinikahi. Maka tidak boleh untuk bercampur baur, berdua-duaan, menemani dalam safar, dan berjabat tangan.
  3. Apabila terjadi perzinaan di antara mahram maka hukumnya adalah dirajam, sama saja apakah mereka muhshan (sudah pernah menikah) atau ghoiru muhshan (belum pernah menikah). [*]

[1] Termasuk di sini adalah bibinya bapak kita, bibinya kakek dan seterusnya ke atas. [2] Termasuk di sini adalah bibinya ibu kita, bibinya nenek dan seterusnya ke atas
[3] Li’an (saling melaknat dengan bersumpah) adalah sumpah yang dilakukan oleh suami dan istri apabila suami menuduh istrinya telah berzina dan tidak bisa mendatangkan 4 orang saksi. Sumpah dimulai dari suami yang bersumpah dengan nama Allah bahwasanya dia adalah benar-benar orang yang jujur (dalam tuduhannya) sebanyak 4 kali dan yang kelima dia bersumpah apabila dia berdusta maka dia akan mendapat la’nat Allah. Kemudian istri bersumpah dengan nama Allah bahwa suaminya benar-benar orang yang berdusta (dalam tuduhannya) sebanyak 4 kali dan yang kelima dia bersumpah apabila suaminya benar maka dia akan mendapat murka Allah. Kemudian keduanya dipisahkan (cerai li’an). Lihat Shohih Muslim (1493) [19/4]
[4] Dikeluarkan Abu Dawud (2250) [2/474] ath-Tholaq: 27  dan asalnya di Bukhori (7304) [13/339] al-I’tishom 5
[5] Lihat: catatan Ar-Roudlul Murbi’ [6/286]
[6] Sebab persusuan yang menjadikan mahram adalah
  • Susu yang diberikan sebanyak 5 kali susuan sampai kenyang
  • Susuan diberikan ketika bayi belum disapih (kurang dari 2 tahun)
Semua anak dari bapak susu (suami ibu susu), baik dari istri ke-1,2,3 atau 4, adalah saudara susu dari anak yang menyusu pada salah satu istri bapak tersebut dan semua kerabat anak yang menyusu (kecuali anak keturunannya) tidak ada kaitan mahram dengan ibu susunya.
[7] Dari Hadits ‘Aisyah. HR. Bukhori (2644) [5/312] dan lafazh ini miliknya, Muslim (3564) [5/364]
[8] Hal ini berarti bahwa hukum ini berbeda (tidak berlaku) bagi selain anak kandung seperti anak angkat, anak tiri, anak susuan dll.
[9] Hukum ini juga berlaku pada poin 3 dan 4. Mereka secara langsung menjadi mahram hanya dengan sekedar akad nikah yang telah dilakukan. Walaupun yang menikah (antara suami dan istri) belum pernah bertemu sekalipun.
[10] Hal ini berbeda dengan sebelumnya, yang mana hukum mahram terjadi apabila telah terjadi hubungan suami istri. Apabila belum, maka anak perempuan istri belum menjadi mahram walaupun sudah terjadi akad nikah.
[11] Demikian yang terdapat dalam kitab, hanya disebutkan 6 poin. Maka poin yang ketujuh kemungkinan masuk pada poin kedua, Syaikh Fauzan menyebut Ibu susu dan saudara susu menjadi satu poin.
[12] Dari Hadits Abu Huroiroh, HR Bukhori (5109) [9/200], Muslim (3422) [5/193]
[13] Al-Mu’jam Al-Kabir lit Thobroni (11763)
[14] Hal ini menunjukkan bahwa cemburu di antara para istri adalah wajar, fitri dan alami sehingga tidak disyariatkan untuk menimbulkan kecemburuan di antara sesama kerabat yang dapat berakibat putusnya tali rohim
[15] Diriwayatkan dari hadits Qois bin Al-Harits, HR. Abu Dawud (2241) [2/469] dan Ibnu Majah (1952) [2/464]
[16] Wanita yang berzina jika sudah taubat boleh dinikahi setelah habis masa ‘iddahnya, berdasarkan hadits:
  • “Anak itu milik pemilik kasur dan bagi pezina adalah batu (rajam, bila memenuhi syaratnya. Adapula ulama yang menafsiri al-Hajar dengan penyesalan dan tidak mendapat bagian)” (HR. Bukhori Muslim dll)
  • “Tidak boleh digauli wanita hamil sampai melahirkan dan tidak dinikahi wanita yang tidak hamil sampai mengosongkan rahimnya selama satu haidl (Sunan Abi Dawud 2159)
  • “Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk mengairi sawah orang lain”
Para Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Pendapat Ulama’ yang membolehkan, syaratnya: sudah sama-sama bertaubat, harus pasangan zinanya sendiri, tidak boleh hamilnya lebih dari 3 bulan karena masa kandungan berkisar antara 6-9 bulan, dan kejadian (zinanya) terjadi karena benar-benar kecelakaan, bukan sengaja atau hobi. Sementara Imam Ahmad dan Imam Malik tidak membolehkan menikahi wanita yang hamil karena zina. Imam Syafi’i dan Abu Hanifah membolehkan dengan ketentuan jika yang menikahi adalah laki-laki yang menghamili maka boleh menggauli dan jika yang menikahi bukan laki-laki yang menghamili  maka sah akad nikah tetapi tidak boleh menggauli sampai melahirkan.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Komentar Dengan Kata-Kata Yang Sopan Dan Baik.!

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...