أهلا وسهلا بحضوركم في بلوق مؤسسة سنبة سلفية

13 Agustus 2013

Perempuan-perempuan yang haram dinikahi

perempuan yang haram dinikahi disebut dengan mahrom.

Mahram dalam nikah ada 2 bagian:
Pertama: mahram yang haram dinikahi selamanya
Mereka ada 14 golongan; 7 menjadi mahram karena nasab, dan 7 menjadi mahram karena sebab, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah -Subhanahu wata’ala-  QS. An-Nisa’: 22 – 23.
Mereka yang menjadi mahram selamanya karena nasab adalah:
  1. Ibu, Nenek dan seterusnya ke atas, berdasarkan firman Allah -Subhanahu wata’ala-, artinya: ”diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu” (QS. An-Nisa’: 23)
  2. Anak perempuan, cucu perempuan dan cicit (anak cucu) perempuan dan seterusnya ke bawah, berdasarkan firman Allah -Subhanahu wata’ala-, artinya: ”anak-anakmu yang perempuan” (QS. An-Nisa’: 23)
  3. Saudara perempuan baik saudara kandung, saudara sebapak ataupun saudara seibu, berdasarkan firman Allah -Subhanahu wata’ala-, artinya: ”saudara-saudaramu yang perempuan” (QS. An-Nisa’: 23)
  4. Saudara perempuan bapak (bibi dari bapak)[1], berdasarkan firman Allah -Subhanahu wata’ala-, artinya: ”saudara-saudara bapakmu yang perempuan” (QS. An-Nisa’: 23)
  5. Saudara perempuan ibu (bibi dari ibu)[2],  berdasarkan firman Allah -Subhanahu wata’ala-, artinya: ”saudara-saudara ibumu yang perempuan” (QS. An-Nisa’: 23)
  6. Anak perempuan dari saudara laki-laki (keponakan dari saudara laki-laki), dan cucu perempuan saudara laki-laki, berdasarkan firman Allah -Subhanahu wata’ala-, artinya: ”anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki” (QS. An-Nisa’: 23)
  7. Anak perempuan dari saudara perempuan (keponakan dari saudara perempuan), berdasarkan firman Allah -Subhanahu wata’ala-, artinya: ”anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan” (QS. An-Nisa’: 23)
Mereka yang menjadi mahram selamanya karena sebab adalah:
  1. Wanita yang dili’an bagi orang yang meli’an[3]nya. Ketika Al-Juzjani meriwayatkan dari Sahl bin Sa’d, dia berkata: ”Telah berlalu (berlaku) sunnah bagi 2 orang yang saling meli’an agar mereka dipisah kemudian tidak berkumpul lagi selamanya”[4]. Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah berkata: ”Kami tidak mengetahui seorangpun yang menyelisihi dalam hal ini”[5]
  2. Menjadi mahram karena persusuan. Setiap wanita yang diharamkan karena nasab sebagaimana di atas maka ia juga diharamkan karena persusuan[6]. Seperti ibu dan saudara perempuan, berdasarkan firman Allah -Subhanahu wata’ala-, artinya: ”ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan” (An-Nisa’: 23). Nabi -Shalallahu alaihi wasalam– bersabda: ”menjadi mahram karena persusuan apa yang menjadi mahram karena nasab” (Mutafaq ’alaihi)[7]
  3. Menjadi mahram karena telah diaqad menjadi istri bapak atau kakek, berdasarkan firman Allah -Subhanahu wata’ala-, artinya: ”dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu” (QS. An-Nisa’: 22)
  4. Menjadi mahram karena menjadi istri anaknya dan seterusnya ke bawah (istri cucu), berdasarkan firman Allah -Subhanahu wata’ala-, artinya: (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu[8] (menantu)” (QS. An-Nisa’: 23)
  5. Menjadi mahram ibu istri dan neneknya hanya dengan sekedar aqad[9], berdasarkan firman Allah تعالى, artinya: ibu-ibu isterimu (mertua)” (QS. AN-Nisa’: 23)
  6. Menjadi mahram anak perempuan istri dan cucu perempuan istri dari anak laki-laki apabila telah terjadi hubungan dengan istri[10], berdasarkan firman Allah تعالى, artinya: anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya” (QS. AN-Nisa’: 23)[11]
Kedua: mahram yang haram dinikah untuk sementara waktu
Kelompok ini terdiri dari 2 macam:
Macam pertama : haram dinikah karena sebab dikumpulkan (jam’)
  1. Haram untuk mengumpulkan (menikahi dalam waktu bersamaan) antara 2 wanita bersaudara, berdasarkan firman Allah -Subhanahu wata’ala-, artinya: dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara” (QS. an-Nisa’: 23). Demikian juga haram mengumpulkan antara seorang wanita dengan bibinya, berdasarkan sabda Rasulullah -Shalallahu alaihi wasalam-:
لاَ يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا ، وَلاَ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا
“Tidak dikumpulkan seorang wanita dengan bibi dari bapaknya dan tidak pula dengan bibi dari ibunya” (mutafaq ’alaih)[12]
Dan Rasulullah -Shalallahu alaihi wasalam– telah menjelaskan hikmah ketika beliau bersabda:
إِنَّكُمْ إِنْ فَعَلْتُمْ ذَلِكَ قَطَعْتُمْ أَرْحَامَكُمْ
“Sesungguhnya apabila kalian melakukan hal ini, kalian telah memutus tali rahim kalian[13] [14]
Yang demikian ini akan terjadi apabila di antara madu terjadi saling cemburu. Apabila di antara mereka dari kerabat dekat maka akan terjadi pemutusan tali rahim. Apabila seorang wanita telah dicerai dan habis iddahnya, maka menjadi halal saudarinya atau bibinya karena telah hilangnya larangan.
  1. Tidak boleh mengumpulkan (menikahi dalam waktu bersamaan) lebih dari 4 wanita, berdasarkan firman Allah -Subhanahu wata’ala-, artinya: Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat” (QS. An-Nisa’: 3). Dan sungguh Nabi -Shalallahu alaihi wasalam– telah memerintahkan orang yang mempunyai istri lebih dari 4 sebelum Islam untuk menceraikan istri-istri yang lebih dari 4 (empat).[15]
Macam yang kedua: haram dinikahi karena masa tertentu
  1. Tidak boleh menikahi wanita yang sedang dalam masa ’iddah (menunggu) karena pisah dengan suaminya yang pertama, berdasarkan firman Allah -Subhanahu wata’ala-, artinya: dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ‘iddahnya” (Al-Baqoroh: 235). Di antara hikmah hal ini adalah bisa jadi wanita tersebut hamil, sehingga akan tercampur air mani dan rancunya nasab anak.
  2. Haram menikahi wanita yang berzina apabila diketahui zinanya sampai dia bertaubat dan habis ’iddahnya, berdasarkan firman Allah -Subhanahu wata’ala-, artinya: dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin” (An-Nur:3).[16]
  3. Haram bagi seorang laki-laki untuk menikahi istrinya yang telah dicerai tiga sehingga dia (mantan istri) telah digauli oleh suami baru dengan pernikahan yang benar, berdasarkan firman Allah -Subhanahu wata’ala-, artinya: ”Cerai itu dua kali …” sampai kepada firma-Nya: ”Maka jika dia menceraikannya” yakni cerai yang ketiga, Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. (Al-Baqoroh: 230)
  4. Haram menikahi wanita yang sedang berihram (haji atau umroh) sampai dia halal dari ihromnya. Demikian juga tidak boleh bagi laki-laki yang sedang ihrom untuk melakukan akad nikah dengan seorang wanita sedangkan dia masih berihrom, berdasarkan sabda Nabi Muhammad -Shalallahu alaihi wasalam–:
لاَ يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ
”Orang yang ihrom tidak boleh menikah, dinikahi dan tidak boleh melamar” (HR. Jama’ah kecuali Bukhori)[17]
  1. Tidak halal laki-laki kafir menikahi wanita muslimah, berdasarkan firman Allah -Subhanahu wata’ala-, artinya: dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.” (Al-Baqoroh: 221)
  2. Laki-laki mukmin tidak boleh menikahi wanita kafir, berdasarkan firman Allah -Subhanahu wata’ala-, artinya: dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.” (Al-Baqoroh: 221) Dan firman Allah -Subhanahu wata’ala-, artinya: dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir” (Al-Mumtahanah: 10). Kecuali wanita-wanita merdeka (yang menjaga kehormatan) dari ahli kitab, maka boleh bagi laki-laki muslim untuk menikahinya, berdasarkan firman Allah -Subhanahu wata’ala-, artinya: (dan Dihalalkan mangawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-kitab sebelum kamu” (Al-Maidah: 5), yakni halal bagi kalian. Ayat ini menjadi pengecualian (pengkhususan) dari keumuman dua ayat sebelumnya dalam pengharaman menikahi wanita-wanita kafir bagi laki-laki mu’min, dan para Ulama’ telah berijma’ atas hal ini.
  3. Haram bagi muslim merdeka untuk menikahi budak muslimah, karena yang demikian akan menghilangkan status budak pada anak-anaknya. Kecuali apabila khawatir dirinya akan terjerumus kepada zina dan belum mampu membayar mahar wanita merdeka atau harga budak wanita, maka boleh bagi dia ketika itu untuk menikahi budak muslimah, berdasarkan firman Allah -Subhanahu wata’ala-, artinya: ”dan Barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separoh hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa’: 25)
  4. Haram bagi budak laki-laki untuk mengawini tuan perempuannya berdasarkan ijma’, karena yang demikian ini adalah saling menafikan keadaan wanita sebagai tuannya dan keadaan suaminya. Masing-masing di antara keduanya memiliki hukum tersendiri.
  5. Haram bagi tuan laki-laki untuk menikahi budak perempuannya, karena akad kepemilikan (atas budak) lebih kuat daripada akad nikah. Dan tidak bergabung suatu akad dengan akad yang lebih lemah darinya.


HUKUM-HUKUM TERKAIT DENGAN MAHRAM (bukan dari kitab)
  1. Mahram yang berlaku hukum boleh untuk bercampur baur, berdua-duaan, menemani dalam safar, dan berjabat tangan hanya mahram yang haram dinikahi selamanya, karena nasab dan karena persusuan.
  2. Sepupu (anak paman) bukan termasuk mahram dan boleh dinikahi. Maka tidak boleh untuk bercampur baur, berdua-duaan, menemani dalam safar, dan berjabat tangan.
  3. Apabila terjadi perzinaan di antara mahram maka hukumnya adalah dirajam, sama saja apakah mereka muhshan (sudah pernah menikah) atau ghoiru muhshan (belum pernah menikah). [*]

[1] Termasuk di sini adalah bibinya bapak kita, bibinya kakek dan seterusnya ke atas. [2] Termasuk di sini adalah bibinya ibu kita, bibinya nenek dan seterusnya ke atas
[3] Li’an (saling melaknat dengan bersumpah) adalah sumpah yang dilakukan oleh suami dan istri apabila suami menuduh istrinya telah berzina dan tidak bisa mendatangkan 4 orang saksi. Sumpah dimulai dari suami yang bersumpah dengan nama Allah bahwasanya dia adalah benar-benar orang yang jujur (dalam tuduhannya) sebanyak 4 kali dan yang kelima dia bersumpah apabila dia berdusta maka dia akan mendapat la’nat Allah. Kemudian istri bersumpah dengan nama Allah bahwa suaminya benar-benar orang yang berdusta (dalam tuduhannya) sebanyak 4 kali dan yang kelima dia bersumpah apabila suaminya benar maka dia akan mendapat murka Allah. Kemudian keduanya dipisahkan (cerai li’an). Lihat Shohih Muslim (1493) [19/4]
[4] Dikeluarkan Abu Dawud (2250) [2/474] ath-Tholaq: 27  dan asalnya di Bukhori (7304) [13/339] al-I’tishom 5
[5] Lihat: catatan Ar-Roudlul Murbi’ [6/286]
[6] Sebab persusuan yang menjadikan mahram adalah
  • Susu yang diberikan sebanyak 5 kali susuan sampai kenyang
  • Susuan diberikan ketika bayi belum disapih (kurang dari 2 tahun)
Semua anak dari bapak susu (suami ibu susu), baik dari istri ke-1,2,3 atau 4, adalah saudara susu dari anak yang menyusu pada salah satu istri bapak tersebut dan semua kerabat anak yang menyusu (kecuali anak keturunannya) tidak ada kaitan mahram dengan ibu susunya.
[7] Dari Hadits ‘Aisyah. HR. Bukhori (2644) [5/312] dan lafazh ini miliknya, Muslim (3564) [5/364]
[8] Hal ini berarti bahwa hukum ini berbeda (tidak berlaku) bagi selain anak kandung seperti anak angkat, anak tiri, anak susuan dll.
[9] Hukum ini juga berlaku pada poin 3 dan 4. Mereka secara langsung menjadi mahram hanya dengan sekedar akad nikah yang telah dilakukan. Walaupun yang menikah (antara suami dan istri) belum pernah bertemu sekalipun.
[10] Hal ini berbeda dengan sebelumnya, yang mana hukum mahram terjadi apabila telah terjadi hubungan suami istri. Apabila belum, maka anak perempuan istri belum menjadi mahram walaupun sudah terjadi akad nikah.
[11] Demikian yang terdapat dalam kitab, hanya disebutkan 6 poin. Maka poin yang ketujuh kemungkinan masuk pada poin kedua, Syaikh Fauzan menyebut Ibu susu dan saudara susu menjadi satu poin.
[12] Dari Hadits Abu Huroiroh, HR Bukhori (5109) [9/200], Muslim (3422) [5/193]
[13] Al-Mu’jam Al-Kabir lit Thobroni (11763)
[14] Hal ini menunjukkan bahwa cemburu di antara para istri adalah wajar, fitri dan alami sehingga tidak disyariatkan untuk menimbulkan kecemburuan di antara sesama kerabat yang dapat berakibat putusnya tali rohim
[15] Diriwayatkan dari hadits Qois bin Al-Harits, HR. Abu Dawud (2241) [2/469] dan Ibnu Majah (1952) [2/464]
[16] Wanita yang berzina jika sudah taubat boleh dinikahi setelah habis masa ‘iddahnya, berdasarkan hadits:
  • “Anak itu milik pemilik kasur dan bagi pezina adalah batu (rajam, bila memenuhi syaratnya. Adapula ulama yang menafsiri al-Hajar dengan penyesalan dan tidak mendapat bagian)” (HR. Bukhori Muslim dll)
  • “Tidak boleh digauli wanita hamil sampai melahirkan dan tidak dinikahi wanita yang tidak hamil sampai mengosongkan rahimnya selama satu haidl (Sunan Abi Dawud 2159)
  • “Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk mengairi sawah orang lain”
Para Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Pendapat Ulama’ yang membolehkan, syaratnya: sudah sama-sama bertaubat, harus pasangan zinanya sendiri, tidak boleh hamilnya lebih dari 3 bulan karena masa kandungan berkisar antara 6-9 bulan, dan kejadian (zinanya) terjadi karena benar-benar kecelakaan, bukan sengaja atau hobi. Sementara Imam Ahmad dan Imam Malik tidak membolehkan menikahi wanita yang hamil karena zina. Imam Syafi’i dan Abu Hanifah membolehkan dengan ketentuan jika yang menikahi adalah laki-laki yang menghamili maka boleh menggauli dan jika yang menikahi bukan laki-laki yang menghamili  maka sah akad nikah tetapi tidak boleh menggauli sampai melahirkan.

11 Agustus 2013

Kisah siti maryam mengandung nabi isa

siti maryam melahirkan nabi isa A.S

10 Agustus 2013

pemeliharaan nabi zakariya terhadap siti maryam

3 Agustus 2013

Nabi zakariya dan siti Maryam

31 Juli 2013

Wafatnya nabi Sulaiman

Hal-hal yang bersangkutan dengan Al-Qur’an

Keutamaan Al-Qur’an

Kisah Nabi Sulaiman dan cincinnya

27 Juli 2013

balqis datang ke kerajaan nabi sulaiman

Keutamaan Alqur’an

24 Juli 2013

Kisah pemindahan singgasana balqis

21 Juli 2013

Zakat II

20 Juli 2013

Nabi Sulaiman dan hud-hud

 Kisah nabi sulaiman dan burung hud-hud klik link dibawah ini atau
Nabi Sulaiman dan hud-hud

Nabi Sulaiman dan pasukannya

13 Juli 2013

Zakat I

11 Juli 2013

jadwal khotmul qur'an Yayasan Sunniyah Salafiyah
 

9 Juli 2013

Waktu-waktu sholat II

6 Juli 2013

4 Juli 2013

Pasuruan bersholawat

30 Juni 2013

Kurang perhatiannya seseorang kepada urusan Iman.

29 Juni 2013

Puasa II

 Perkara-perkara yang membatalkan puasa adalah................
Puasa II

28 Juni 2013

Puasa

20 Juni 2013

Tafsir Jalalain Q.S. Al-Baqoroh 8-9

19 Juni 2013

15 Juni 2013

Penjelasan tentang bulan Sya’ban, romadhon dan syawal

 kita telah memasuki bulan sya'ban, apa bekal kita untuk memasuki bulan Ramadhan?
Penjelasan tentang bulan Sya’ban, romadhon dan syawal

13 Juni 2013

Tips belajar dan mengajar

Tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mengerti ilmu agama, kenapa?  klik link dibawah ini!
Tips belajar dan mengajar

9 Juni 2013

Adab mendatangi istri

Pengajian kitab Risalahtul muawanah oleh Habib Taufiq Assegaf
Adab mendatangi istri

7 Juni 2013

Kajian Kitab Tafsir jalalain Q.S al-Baqoroh ayat 6

 Kajian Tafsir Jalalain oleh Habib Taufiq Assegaf, Klik:
Kajian Kitab Tafsir jalalain Q.S al-Baqoroh ayat 6

6 Juni 2013

Hukum Mengadakan walimatul khitan

Hukum Mengadakan Walimah Khitan dan Memenuhi Undangannya

Para ulama berbeda pendapat mengenai pengadaan walimah khitan. Ada yang mengatakan walimah khitan itu sunnah, dan memenuhi undangan juga sunnah. Ini adalah madzhab Hanafiyyah[1], satu pendapat dari madzhab Syafi’iyyah[2], dan satu pendapat dari madzhab Hanabilah[3].
Dikatakan, disunnahkan mengadakan walimah khitan hanya untuk anak laki-laki, bukan untuk anak perempuan – karena khitan anak perempuan itu bersifat tersembunyi dan ada perasaan malu untuk menampakkannya. Pendapat ini dipilih oleh Al-Adzra’iy dari kalangan Syafi’iyyah.[4]
Dikatakan, walimah khitan adalah mubah, dan memenuhi undangannya juga mubah. Ini adalah pendapat Malikiyyah[5] dan Hanabilah[6].
Dan dikatakan juga, walimah khitan itu adalah makruh, dan menghadirinya pun makruh. Pendapat ini dipilih sebagian ulama Malikiyyah[7], dan ia merupakan satu riwayat dari Ahmad[8].
Dari berbagai pendapat yang ada, yang raajih (kuat) hukum mengadakan walimah khitan adalah mubah, sebab ia hanyalah terkait dengan adat istiadat dan kebiasaan manusia saja. Inilah hukum asal dari setiap walimah, sebagaimana ditegaskan dalam kaidah ushul :
الأصل في الأشياء الإباحة إلا إذا أتى ما يدل على تحريم ذلك الشيء
“Asal dari segala sesuatu adalah diperbolehkan, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan keharamannya” [Min Ushuulil-Fiqh ‘alaa Manhaji Ahlil-Hadiits, oleh Zakariyya bin Ghulaam Qaadir Al-Baakistaaniy, hal. 166].
Ia akan diberikan pahala sesuai dengan apa yang diniatkannya.
Adapun pendapat yang memakruhkan, atau bahkan sampai mengharamkannya (sebagaimana beredar di sebagian ikhwah), maka ini keliru.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
إذا دعا أحدكم أخاه فليجب، عرسا كان أو نحوه.
“Apabila salah seorang di antara kalian mengundang (walimah) saudaranya, hendaklah ia memenuhinya – baik undangan pernikahan atau yang semisalnya” [HR. Abu Dawud no. 3738].
Perkataan beliau : “atau yang semisalnya” mengandung faedah bahwa walimah itu tidaklah sebatas walimatul-‘urs saja. Namun walimah-walimah lain yang menjadi kebiasaan dan adat manusia. Termasuk walimah khitan. 
Inilah yang dipegang oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, dimana beliau mengatakan :
أما الوليمة العرس فهي سنة، والإجابة إليها مأمور بها وأما وليمة الموت فبدعة، مكروه فعلها، والإجابة إليها. وأما وليمة الختان فهي جائزة : من شاء فعلها، ومن شاء تركها.
Walimatul-‘urs hukumnya sunnah dan memenuhi undangannya adalah diperintahkan. Adapun walimah atas kematian seseorang, maka itu bid’ah yang dibenci (makruh) melaksanakannya dan memenuhi undangannya. Sedangkan walimah khitan, maka hukumnya jaaiz (diperbolehkan). Barangsiapa yang ingin, maka boleh ia melakukannya ataupun meninggalkannya…” [Majmu’ Al-Fataawaa, 32/206]. 
Hadits di atas juga mengandung faedah akan wajibnya memenuhi semua undangan walimah, termasuk khitan.[9]
Syamsul-Haq ‘Adhiim ‘Abadiy berkata saat menjelaskan hadits riwayat Abu Dawud di atas :
وقد احتج بهذا من ذهب إلى أنه يجب الإجابة إلى الدعوة مطلقاً. وزعم ابن حزم أنه قول جمهور الصحابة والتابعين.
“Hadits ini telah digunakan sebagai hujjah oleh orang yang berpendapat wajibnya memenuhi undangan secara mutlak. Dan Ibnu Hazm mengatakan bahwasannya hal itu merupakan pendapat jumhur shahabat dan tabi’in” [‘Aunul-Ma’bud, 10/204].
Hal itu dikuatkan oleh riwayat lain dengan (tambahan) lafadh :
من لم يجب الدعوة فقد عصى الله ورسوله.
“Barangsiapa yang tidak memenuhi undangan tersebut, sungguh ia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya” [HR. Ahmad no. 5263; shahih – lihat keterangannya dalam Adaabuz-Zifaaf, hal. 154].
Tanbih !!
عن الحسن قال : دعي عثمان بن أبي العاص إلى ختان فأبى ان يجيب فقيل له فقال انا كنا لا نأتي الختان على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا ندعى له
Dari Al-Hasan ia berkata : “’Utsman bin Abil-‘Ash pernah diundang walimah khitan, maka ia menolak untuk memenuhinya. Lalu ditanyakan kepadanya hal tersebut. Ia menjawab : ‘Kami dulu pada masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mendatangi undangan khitan dan tidak diadakan undangan padanya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/217 no. 17938 dan Ath-Thabaraniy 9/48].
Hadits ini adalah dla’if karena ‘an’anah Muhammad bin Ishaq, sedangkan ia seorang mudallis. Oleh karena itu, riwayat ini tidak bisa digunakan sebagai hujjah.


Itu saja yang dapat dituliskan. Semoga ada manfaatnya.

[1] Badaai’ush-Shanaai’ (7/10).
[2] An-Nawawi rahimahullah berkata :
الوليمة مستحبة لغير العرش
“Walimah itu disunnahkan, selain dari walimah pernikahan (yang dihukumi wajib)” [I’aanatuth-Thaalibiin, 3/357].
وأما سائر الولائم، فمستحبة، ليس بواجبة على المذهب وبه قطع الجمهور، ولا يتأكذ تأكد وليمة النكاح.
“Adapun seluruh walimah, maka hukum sunnah, bukan wajib berdasarkan pendapat madzhab. Dan pendapat inilah yang dinyatakan oleh jumhur ulama. Namun hal itu tidaklah ditekankan (untuk mengadakannya) sebagaimana ditekankan dalam walimah pernikahan” [Raudlatuth-Thaalibiin, 7/333].
[3] Dikatakan dalam Al-Inshaaf (5/320) :
هذا قول أبي حفص العكبري، وقطع به في الكافي، والمغني، والشرح، وشرح ابن منجا، وهو ظاهر كلام ابن أبي موسى، قاله في المستوعب.
“Ini adalah perkataan Abu Hafsh Al-‘Ukbariy yang dinyatakan dalam Al-Kaafiy, Al-Mughniy, Asy-Syarh, dan Syarh Ibni Manjaa. Dan hal itu yang nampak dari perkataan Ibnu Abi Musa, dimana ia mengatakannya dalam Al-Mustau’ab”.
[4] Mughnil-Muhtaaj, 4/403.
[5] Dikatakan dalam Mawaahibul-Jaliil (4/3) :
ومباحة الإجابة : وهي التي تعمل من غير قصد مذموم، كالعقيقة للمولود، والنقيعة للقادم من السفر، والوكيرة لبناء الدار والخرس للنفاس، والإعذار للختان، ونحو ذلك.
“Walimah yang hukumnya mubah untuk memenuhi undangannya adalah walimah yang dilakukan bukan untuk tujuan yang tercela, seperti : ‘aqiqah saat kelahiran bayi, perjamuan yang dilakukan oleh orang yang baru datang dari safar, perjamuan karena pembangunan rumah dan wanita setelah selesai nifas, perjamuan pada waktu khitan, dan yang lainnya”.
[6] Syarh Muntahaa Al-Iraadaat (3/33), Kasysyaaful-Qinaa’ (5/166), dan Mathaalibu Ulin-Nuhaa fii Syarh Ghaayatul-Muntahaa (5/234). Dikatakan dalam Al-Inshaaf (8/320) : “Ia merupakan pendapat yang shahih dari madzhab”.
[7] Dikatakan dalam Asy-Syaamil :
ووجوب إجابة الدعوة إنما هو لوليمة العرس، وأما ما عداها فحضوره مكروه إلا العقيقة فمندوب.
“Wajib hukumnya memenuhi undangan hanya untuk walimatul-‘urs (pesta pernikahan) saja. Adapun selainnya, maka menghadirinya adalah makruh, kecuali ‘aqiqah yang itu dianjurkan (untuk menghadirinya)”.
[8] Al-Inshaaf (8/231).
[9] Dengan syarat jika walimah tersebut tidak mengandung/memuat perkara-perkara yang diharamkan oleh syari’at.

Hati manusia yang penuh dengan setan

Mengapa terkadang kita merasa berat untuk membaca alqur'an atau berdiam dimasjid,  cari jawabanya dilink dibawah ini!
Hati manusia yang penuh dengan setan

4 Juni 2013

kaya atau miskinkah yang lebih utama

Kisah seseorang yang terbunuh karena sifat hasudnya sendiri

 Cara mengatasi orang yang hasud kepada kita, klik link dibawah ini:
Kisah seseorang yang terbunuh karena sifat hasudnya sendiri


3 Juni 2013

Isro’ Mi’roj Nabi Muhammad SAW

Menutup Aurot II

2 Juni 2013

Bahaya sifat Hasud

Klik Link atau judul dibawah ini!   
Bahaya sifat Hasud

31 Mei 2013

Menutup aurot termasuk syarat sahnya Sholat

 Klik link atau judul dibawah ini!
Menutup aurot termasuk syarat sahnya Sholat

30 Mei 2013

Cara memilih pasangan untuk anak

Klik link atau judul di bawah ini!
Cara memilih pasangan untuk anak

Cara memilih pasangan untuk anak

Klik link atau judul di bawah ini!
Cara memilih pasangan untuk anak

Cara memilih pasangan untuk anak

Klik link atau judul di bawah ini!
Cara memilih pasangan untuk anak

28 Mei 2013

Boleh membaca al-qur’an dengan suara yang keras

Silahkan Klik link atau judul dibaah ini:
Boleh membaca al-qur’an dengan suara yang keras

27 Mei 2013

Keutamaan lapar dan adab Minum

Silakan Klik LINK/Judul di Bawah Ini: 
Keutamaan lapar dan adab Minum
 

Tafsir jalalain Al-baqoroh ayat 1

Silakan Klik LINK/Judul di Bawah Ini: 
Tafsir jalalain Al-baqoroh ayat 1

24 Mei 2013

Nabi mencintai sebuah gunung

Silakan Klik LINK/Judul di Bawah Ini: 
Nabi mencintai sebuah gunung

23 Mei 2013

22 Mei 2013

Kisah setan telanjang dihadapan org yang sedang beribadah

Silakan Klik LINK/Judul di Bawah Ini: 
Kisah setan telanjang dihadapan org yang sedang beribadah

21 Mei 2013

Kisah penciptaan Nabi Adam A.S

Silakan Klik LINK/Judul di Bawah Ini: 
Kisah penciptaan Nabi Adam A.S

19 Mei 2013

Do’a agar terhindar dari Setan

18 Mei 2013

Adab makan bag. IV (makanlah makanan yang halal)

Silakan Klik LINK/Judul di Bawah Ini: 
Adab makan bag. IV (makanlah makanan yang halal)

17 Mei 2013

Sikap nabi ketika bersama keluarganya

Memuji nabi Muhammad SAW

Silakan Klik LINK/Judul di Bawah Ini: 
Memuji nabi Muhammad SAW

Adab Makan bag.III

Silakan Klik LINK/Judul di Bawah Ini: 
Adab Makan bag.III

16 Mei 2013

Mengangkat suara ketika berdzikir bukan Bid’ah

Silakan Klik LINK/Judul di Bawah Ini: 
Mengangkat suara ketika berdzikir bukan Bid’ah

Laksanakan Sholat dengan Tenang

Silakan Klik LINK/Judul di Bawah Ini:
Laksanakan Sholat dengan Tenang

Laksanakan! Sholat dengan Tenang

Setan lari ketika mendengar adzan bukan ketika sholat

Silakan Klik LINK/Judul di Bawah Ini: 
Setan lari ketika mendengar adzan bukan ketika sholat

Do'a agar terhindar dari setan

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...